Rabu, 06 April 2011

antara ya atau tidak

Saat kita dihadapkan pada 2 pilihan : yang satu adalah pilihan yang harus kita lakukan. dan satu lagi adalah yang kita ingin lakukan. disini kita dihadapkan pada satu tindakan berdasarkan pemikiran logis yang didalamnya berimplikasikan peraturan atau prosedur, yang mau tidak mau harus kita lakukan. sementara pilihan lainnya adalah tindakan yang didasari keinginan,entah itu egoisme pribadi,keharusan untuk berbuat sesuatu, atau karena sesuatu yang kita sebut 'nurani'.

Dalam kegiatan alam bebas kecepatan dan kecermatan dalam pengambilan keputusan mutlak diperlukan. Memilih dan memutuskan tindakan apa yang dilakukan sebaiknya tidak mengabaikan faktor resiko. SAFETY FIRST!. Ya, segala sesuatunya memang harus berdasarkan kepada safety procedure secara umum. Contoh dalam suatu perjalanan sekelompok pendaki akan melakukan summit attack tiba-tiba terjadi badai, kita asumsikan dalam pendakian ini mereka hanya punya satu kali kesempatan melakukan summit attack. Haruskah mereka melanjutkan perjalanan dengan menempuh resiko terserang badai di daerah puncak yang miskin vegetasi? atau bagaimana jika pengarungan suatu sungai dibatalkan karena terjadi bandang? Bagaimana bila sekelompok penelusur gagal mengeksplorasi sebuah goa vertikal di daerah yang saat itu terjadi hujan tiap harinya?



Seorang leader yang bijaksana tanpa ragu akan mengambil keputusan yang mengutamakan keselamatan timnya. Entah berapa anggaran dana yang terbuang untuk kegiatan tersebut, seberapa matang persiapan mati-matian yang dilakukan sebuah tim, selengkap apa data data yang susah payah dikumpulkan tentang destinasinya, seberapa keras latihan fisik yang dilakukan. Suka ataupun tidak semuanya harus diabaikan untuk 1 hal yang paling penting, KESELAMATAN.

Akan mudah jawabannya jika seperti pada kasus diatas. sebuah film layar lebar garapan Martin Campbell berjudul vertical limit(Desember 2000) menceritakan kecelakaan dalam suatu pendakian K2 yang menyisakan 3 orang pendaki selamat terjebak terjebak dalam crevasse diatas ketinggian 8000mdpl. Ketinggian yang dijuluki death zone. Perdebatan panjang terjadi di base camp. Sebagian besar memutuskan untuk merelakan 3 orang tersebut (dengan membiarkannya), sebagian lagi ingin mempertaruhkan kemungkinan kecil untuk melakukan misi penyelamatan. Jika kita berbicara soal keselamatan, tindakan untuk merelakan 3 orang yang jelas masih hidup adalah hal yang benar. Death zone adalah zona yang miskin akan oksigen, tekanan udara yang sangat tinggi, angin yang berhembus kencang, bahkan untuk berdiri saja sulit. Bayangkan mengevakuasi 3 orang sekarat dari ketinggian itu. Bukan tidak mungkin nyawa rescuer menjadi taruhannya!

adegan di film vertical limit (Desember 2000), mengeluarkan survivor dari crevasse


Pada 15 Mei 2006, Kecelakaan menimpa tim ekspedisi yang dipimpin David Sharp. Saat itu menurut data terhitung 40 orang pendaki melewati David, dalam kondisi sekarat. Ironis memang, namun tak ada yang bisa dipersalahkan dalam hal ini. Apalagi jika diantara ke-40 orang tersebut memang tidak ada yang mempunyai kapabilitas untuk melakukan prosedur evakuasi. Salah-salah malah akan menambah jumlah korban yang harus dievakuasi. Lantas keputusan keputusan seperti ini menjadi mutlak kebenarannya?

Petter garret, seorang pendaki di film vertical limit bertanya, "lalu kita akan diam disini dan membiarkan mereka mati perlahan?"

Disini jawabannya menjadi sulit.

Disini juga kita dihadapkan pada pilihan yang sama. Yang ingin atau yang harus kita lakukan? yang berlandaskan pada nurani atau sebuah pemikiran logis? Adalah wajar jika seseorang merasa harus melakukan sesuatu untuk kelangsungan hidup orang lain. Mungkin itu yang kita sebut dengan nurani. Kemungkinan itu selalu ada, sekecil apapun itu, dan mempertaruhkan kemungkinan yang sangat kecil itu untuk sebuah tujuan yang mulia menjadi sebuah alasan yang tidak bisa dipungkiri kebenarannya.

Kenyataanya seorang pendaki profesional, Mazur, sukses memimpin sebuah misi high altitude rescue atas Lincoln Hall pada ketinggian 8550mdpl. Untuk misi yang kontradiktif tersebut Mazur yang berprofesi sebagai guide membatalkan perjalanan seorang kliennya. Walaupun mengalami kerugian secara finansial tapi Mazur tetap mengikuti panggilan hatinya. NURANI. Mazur berkata,"I believe all of us have ability to stop and help others and also the ability to keep going. the question is, how do you want to live your life? what do you want to do? who are you?".

Atau bagaimana dengan tindakan yang dilakukan Greg Mortenson dan Scott Darsney di K2? dimana saat 600 kaki menjelang pemuncakan mereka harus menarik mundur tim untuk menolong Etienne Fine, anggota ekspedisi lain yang terserang pulmonary edema. Padahal saat itu Greg membawa kalung milik mendiang adiknya, Christa. Greg berniat menaruh kalung tersebut di puncak. Namun sampai akhir kalung itu tak keluar dari kantung jaket parkanya, ironis. Mereka melakukan tindakan itu demi sesuatu yang mungkin akan dianggap sembrono oleh sebagian orang.

K2, puncak tertinggi kedua di dunia, salah satu gunung penyebab kematian terbanyak

Sir Edmund Hillary murka mendengar kejadian yang dialami Sharp."aku akan mundur dari pendakian itu (pemuncakan Everest pertama kali) jika aku menemukan David Sharp dalam kondisi demikian!"

The Good Samaritan, hukum yang melindungi seseorang yang berusaha memberikan pertolongan jika tindakanannya mungkin dapat memperburuk situasi atau keadaan korban. Sudah selayaknya seorang penggiat alam bebas mempunyai kemampuan untuk melakukan prosedur penyelamatan, untuk siapapun, khususnya untuk tim yang dia pertanggungjawabkan keselamatannya. Namun tidak ada salahnya juga jika kita memprioritaskan keselamatan tim jika dihadapkan pada pilihan : keselamatan tim? atau orang lain? tentunya setiap pengambilan keputusan punya pertimbangan matang yang bisa dipertanggungjawabkan.

semuanya kembali dihadapkan pada dua buah pilihan yang klasik. Hanya dua : ya atau tidak

Tidak ada komentar:

Posting Komentar