Jumat, 21 Juni 2013

Aman Dulu Baru Nyaman

Seiring dengan maraknya publikasi kegiatan alam bebas, bertambah pula jumlah peminatnya. Tentunya jika dilihat dari berbagai sudut pandang pasti ada dampak positif maupun negatif yang diberikan. Mari kita ambil contoh, film 5cm yg diadaptasi dari novel karya donny dirganthoro sukses memperkenalkan keindahan alam indonesia serta menumbuhkan nilai-nilai nasionalis. Namun coba kita lihat fakta yang terjadi. Dilaporkan melalui beberapa media bahwa pembuatan film tersebut menghasilkan sampah yang menumpuk. Bagaimana tidak? membawa ratusan crew ke tempat dengan akses transportasi sulit dan fasilitas kebersihan minim.

Seorang teman saya berbincang dengan petugas balai TNGHS, fakta lain didapat, jumlah pendaki gunung Semeru meningkat drastis setelah pemutaran film tersebut. Baik? atau buruk? Faktanya sebagian besar dari pendaki tersebut adalah awam.

Lantas adakah kriteria untuk individu atau kelompok dalam melakukan pendakian gunung? menurut saya tidak perlu dibuat batasan yg detail atau syarat-syarat yang spesifik. Sederhananya, kegiatan alam bebas adalah kegitan dengan resiko tinggi yang mana membutuhkan manajemen resiko yang baik. Seorang senior saya di Organisasi pecinta alam SMA pernah berkata,"aman dulu baru nyaman". Niat hati ingin bersenang-senang dalam suasana pegunungan tidak akan berjalan baik apabila tidak bisa memprediksi atau mengantisipasi terjadinya badai. Kehabisan makanan, cedera berat, tersesat, dan masih banyak lagi resiko yang sifatnya antisipatif. Semua bisa dipelajari jika memang punya keinginan kuat. Anda ingin selamat berkegiatan? pelajarilah SOP-nya. Aman dulu baru nyaman, Sederhana bukan?

Namun yang terjadi adalah beberapa  justru memilih untuk mengabaikannya. Mungkin mereka menilai itu semua terlalu rumit, membatasi kesenangan mereka. Atau sebenarnya mereka lebih memilih sistem trial and error, setelah nyaris hipotermi barulah mengerti betapa pentingnya manajemen peralatan yang baik. Yaa.. itupun jika masih diberi kesempatan selanjutnya (baca: tidak mati). Yang lebih menggelikan lagi kebanyakan dari orang-orang seperti ini adalah 'pencerita'. Mereka menceritakan prestasinya (atau yang mereka anggap prestasi). Bahayanya para pendengar akan tertantang untuk melebihi prestasi tersebut, kadang dengan cara yang lebih menggelikan lagi.

Siklus seperti inilah yang harus kita putus. Gunung memang milik tuhan, berkegiatan didalamnya adalah hak tiap individu. Tapi koreksi jika saya salah, bukankah menjaga segala sesuatu yang berhubungan dengannya adalah tanggung jawab kita semua?