Berikut tulisan seorang anggota PPRPG Satya Soedirman, berangkat dari keprihatinan akan kondisi yang kami hadapi saat ini.
Berkilo - kilometer
Bengal, tak bisa diatur, eksentrik dan urakan. Tak bisa dipungkiri,
demikian image yang tersemat pada para remaja penempuh rimba dan pendaki gunung. Kegiatan yang
digelutinya pun kerap dikatagori sebagai kegiatan ‘berbahaya’. Tapi sebenarnya
kecintaan pada alam bebas ada di
dalam sanubari setiap orang. Terbukti, wisata-wisata yang menawarkan pesertanya
(baik tua maupun muda) untuk lebih
dekat dengan alam bebas, atau biasa disebut Eco-wisata, mulai berjamuran di
Indonesia. Pendakian gunung, snorkeling, dan susur pantai menjadi menu yang
ditawarkan dalam wisata alam bebas ini.
Lebih Dari Sekedar Lima
Sentimeter
Beberapa waktu lalu dunia perfilman Indonesia disemarakkan oleh kehadiran
sebuah film yang memotret perjalanan pendakian ke salah satu taman nasional di Jawa
Timur. Tak ayal, taman nasional tersebut kini ramai oleh pengunjung. Entah apa
yang menjadi motivasi utama mereka, tapi bisa dibilang ramainya alam bebas oleh
para pendaki dadakan tersebut agak mengkhawatirkan sekaligus mengganggu. Mengkhawatirkan karena minimnya persiapan para pendaki
dadakan itu, dan mengganggu kesakralannya, karena tak jauh dari tempat dimana para pendaki dadakan
mengekspresikan kegembiraannya, tokoh nasional bangsa ini yang juga seorang
pecinta alam bebas -Soe Hok Gie - meregang nyawa.
Memang, Gunung Semeru bukan merupakan monopoli aktivis pecinta alam bebas serta
para remaja penempuh rimba dan
pendaki gunung. Siapapun yang ingin
menikmati keheningan malam, merasakan sejuknya embun pagi, berbagi waktu dengan
alam bebas untuk mengenal siapa dirinya atau sekedar lari dari kemunafikan
dunia, berhak untuk melakukan pendakian dan penjelajahan, tak terkecuali, ke Gunung
Semeru. Namun demikian, perlu diingat, perjalanan pendakian dan penempuhan
rimba bukan urusan sepele tanpa risiko. Perjalanan pendakian dan penempuhan rimba merupakan kristalisasi
persiapan fisik dan mental untuk menjelajah berkilo-kilometer jarak yang disertai
kesulitan, bukan sekedar memasang cita-cita lima sentimeter di depan kening.
Bukan Yang Terbaik, Tapi
Kami Berusaha Menjadi Yang Lebih Baik
Dikisahkan untuk sebuah perjalanan ke Gunung Rinjani, sekelompok siswa dari
Bogor, Jawa Barat mempersiapkan mental dan fisik untuk menjejakkan kaki di
puncak gunung setinggi 3726 Mdpl. Setelah berminggu-minggu persiapan dilakukan
di Bogor dan pendakian telah berjalan berhari-hari, mereka dihadapkan pada
cuaca buruk di puncak Rinjani. Saat itu mereka menghadapi ujian terberat, harus
merelakan kesempatan menjejakkan kaki di Puncak Rinjani, atau mengikuti ego
dengan risiko mengorbankan nyawa anggota kelompoknya.
Bagi seorang penempuh rimba dan pendaki gunung, sebuah perjalanan tidak
semata-mata tercapainya puncak idaman. Upaya menjadikan diri menjadi pribadi
yang lebih baik merupakan tujuan setiap perjalanan mereka. Tujuan yang demikian
menjadikan setiap perjalanan para remaja penempuh rimba dan pendaki gunung sarat dengan pendidikan filosofis, emosional
bahkan spiritual.
Bagi mereka, perjalanan tidak hanya dimaknai sebagai eksistensi diri di
media jaringan sosial (sosmed). Kecintaan kepada alam bebas dan kebebasan
adalah nilai filosofis yang diperoleh dari setiap perjalanan mereka. Citra
bengal dan urakan yang tersemat pada diri seorang remaja penempuh rimba dan pendaki gunung merupakan ekses
dari kecintaan mereka pada kebebasan dan alam bebas yang membuat mereka tak
mampu berbasa-basi dengan kemunafikan dunia.
Dalam perjalanan yang sama, pembentukan emosional mereka pun ditempa oleh panjangnya
perjalanan yang harus mereka tempuh. Tidak semata-mata memuncaki gunung, proses
mencapai puncak adalah tujuan dari perjalanan itu sendiri. Sikap
‘pantang menyerah namun tidak gegabah’ mulai terbentuk melalui penempuhan rimba
dan pendakian gunung yang mereka jalani. Lebih dari itu, kesetiakawanan dengan rekan sesama pendaki serta upaya
memotivasi diri menembus keterbatasan pribadi adalah pendidikan interpersonal
dan intrapersonal yang dipetik dari perjalanan para remaja penempuh rimba dan pendaki gunung.
Pada level yang lebih tinggi, perjalanan para remaja penempuh rimba dan pendaki gunung selalu
menyisipkan pesan bahwa setiap persiapan yang dilakukan selalu dibatasi oleh
kekuasaan Sang Maha Besar. Nilai spiritual yang membuat para penempuh rimba dan
pendaki gunung sebagai pribadi yang, meski dari luar terlihat angkuh, rendah
hati dan senantiasa takut pada kekuatan Sang Pencipta.
Sejak Kapan?
Sungguh gegabah jika menganggap
penempuhan rimba dan pendakian gunung merupakan urusan gampang, juga sungguh
naïf jika menganggap tidak ada nilai yang bisa pendidikan yang bisa diambil
dari sebuah perjalanan. Besarnya potensi nilai yang dapat ditanamkan, serta
pentingnya membangun kesadaran dalam beretika dan bersikap tindak di alam bebas
menunjukan urgensi atas pendidikan yang mengenalkan siswanya kepada alam bebas
sedari dini. Namun demikian, lantaran konsep kurikulum pendidikan di Indonesia
terpasung oleh tembok-tembok ruang kelas, keberadaan organisasi perhimpunan penempuh rimba dan pendaki gunung
di sekolah-sekolah menjadi suatu hal yang penting untuk dipertahankan.
Sementara mulai banyak sekolah
dasar swasta yang mulai memperkenalkan siswanya pada alam bebas sejak kecil, justru
keliru jika sikap paranoid dan prasangka buruk terhadap kegiatan para remaja penempuh rimba dan pendaki gunung
membuat pengajar di Sekolah Menengah Atas mengekang siswanya dari mengekspresikan
kecintaannya atas alam bebas. Alih-alih melindungi, sikap yang demikian malah membentuk
karakter remaja yang kehilangan kepercayaan diri dan, bukan tidak mungkin,
mengarahkan mereka ke aktivitas yang negatif dan destruktif.
Selayaknya melakukan perjalanan
ke puncak mahameru, perjalanan membentuk karakter para remaja penempuh rimba
dan pendaki gunung tidaklah singkat maupun mudah. Justru sebaliknya, merupakan
perjalanan yang panjang berkilo-kilometer jauhnya. Namun, jika perjalanan
berkilo-kilometer itu tidak dimulai semenjak remaja, lalu kapan akan dimulai?
Sikap mendukung dan membangun
seharusnya dapat ditunjukkan semua stakeholder yang ada, sebagai upaya memitigasi
timbulnya korban lantaran sikap gegabah dalam melakukan perjalanan tanpa
melakukan persiapan. Akan sangat berbahaya jika kita membiarkan demam lima
sentimeter melanda, tanpa membekali remaja kita dengan kesadaran yang utuh atas
suatu perjalanan penempuhan rimba dan pendaki gunung.
Penulis adalah Zakaria Kartohardjono, Alumni SMA N 1 Bogor angkatan 2000. Anggota PPRPG Satya Soedirman angkatan Titisan Senja. Dengan nama lapangan Boek. Jarak usia yang cukup jauh tak sedikitpun menghilangkan kepedulian beliau terhadap perhimpunan. Itulah ikatan yang kami punya. Sebuah silaturahmi didasari niat tulus dan saling menyayangi layaknya saudara sekandung.