Selasa, 17 September 2013

Berkilo-kilo meter

Berikut tulisan seorang anggota PPRPG Satya Soedirman, berangkat dari keprihatinan akan kondisi yang kami hadapi saat ini.



Berkilo - kilometer

Bengal, tak bisa diatur, eksentrik dan urakan. Tak bisa dipungkiri, demikian image yang tersemat pada para remaja penempuh rimba dan pendaki gunung. Kegiatan yang digelutinya pun kerap dikatagori sebagai kegiatan ‘berbahaya’. Tapi sebenarnya kecintaan pada alam bebas ada di dalam sanubari setiap orang. Terbukti, wisata-wisata yang menawarkan pesertanya (baik tua maupun muda) untuk lebih dekat dengan alam bebas, atau biasa disebut Eco-wisata, mulai berjamuran di Indonesia. Pendakian gunung, snorkeling, dan susur pantai menjadi menu yang ditawarkan dalam wisata alam bebas ini.

Lebih Dari Sekedar Lima Sentimeter

Beberapa waktu lalu dunia perfilman Indonesia disemarakkan oleh kehadiran sebuah film yang memotret perjalanan pendakian ke salah satu taman nasional di Jawa Timur. Tak ayal, taman nasional tersebut kini ramai oleh pengunjung. Entah apa yang menjadi motivasi utama mereka, tapi bisa dibilang ramainya alam bebas oleh para pendaki dadakan tersebut agak mengkhawatirkan sekaligus mengganggu. Mengkhawatirkan karena minimnya persiapan para pendaki dadakan itu, dan mengganggu kesakralannya, karena tak jauh dari tempat dimana para pendaki dadakan mengekspresikan kegembiraannya, tokoh nasional bangsa ini yang juga seorang pecinta alam bebas -Soe Hok Gie - meregang nyawa.
Memang, Gunung Semeru bukan merupakan monopoli aktivis pecinta alam bebas serta para remaja penempuh rimba dan pendaki gunung. Siapapun yang ingin menikmati keheningan malam, merasakan sejuknya embun pagi, berbagi waktu dengan alam bebas untuk mengenal siapa dirinya atau sekedar lari dari kemunafikan dunia, berhak untuk melakukan pendakian dan penjelajahan, tak terkecuali, ke Gunung Semeru. Namun demikian, perlu diingat, perjalanan pendakian dan penempuhan rimba bukan urusan sepele tanpa risiko. Perjalanan pendakian dan penempuhan rimba merupakan kristalisasi persiapan fisik dan mental untuk menjelajah berkilo-kilometer jarak yang disertai kesulitan, bukan sekedar memasang cita-cita lima sentimeter di depan kening.

Bukan Yang Terbaik, Tapi Kami Berusaha Menjadi Yang Lebih Baik

Dikisahkan untuk sebuah perjalanan ke Gunung Rinjani, sekelompok siswa dari Bogor, Jawa Barat mempersiapkan mental dan fisik untuk menjejakkan kaki di puncak gunung setinggi 3726 Mdpl. Setelah berminggu-minggu persiapan dilakukan di Bogor dan pendakian telah berjalan berhari-hari, mereka dihadapkan pada cuaca buruk di puncak Rinjani. Saat itu mereka menghadapi ujian terberat, harus merelakan kesempatan menjejakkan kaki di Puncak Rinjani, atau mengikuti ego dengan risiko mengorbankan nyawa anggota kelompoknya.
Bagi seorang penempuh rimba dan pendaki gunung, sebuah perjalanan tidak semata-mata tercapainya puncak idaman. Upaya menjadikan diri menjadi pribadi yang lebih baik merupakan tujuan setiap perjalanan mereka. Tujuan yang demikian menjadikan setiap perjalanan para remaja penempuh rimba dan pendaki gunung sarat dengan pendidikan filosofis, emosional bahkan spiritual.
Bagi mereka, perjalanan tidak hanya dimaknai sebagai eksistensi diri di media jaringan sosial (sosmed). Kecintaan kepada alam bebas dan kebebasan adalah nilai filosofis yang diperoleh dari setiap perjalanan mereka. Citra bengal dan urakan yang tersemat pada diri seorang remaja penempuh rimba dan pendaki gunung merupakan ekses dari kecintaan mereka pada kebebasan dan alam bebas yang membuat mereka tak mampu berbasa-basi dengan kemunafikan dunia.
Dalam perjalanan yang sama, pembentukan emosional mereka pun ditempa oleh panjangnya perjalanan yang harus mereka tempuh. Tidak semata-mata memuncaki gunung, proses mencapai puncak adalah tujuan dari perjalanan itu sendiri. Sikap ‘pantang menyerah namun tidak gegabah’ mulai terbentuk melalui penempuhan rimba dan pendakian gunung yang mereka jalani. Lebih dari itu, kesetiakawanan dengan rekan sesama pendaki serta upaya memotivasi diri menembus keterbatasan pribadi adalah pendidikan interpersonal dan intrapersonal yang dipetik dari perjalanan para remaja penempuh rimba dan pendaki gunung.
Pada level yang lebih tinggi, perjalanan para remaja penempuh rimba dan pendaki gunung selalu menyisipkan pesan bahwa setiap persiapan yang dilakukan selalu dibatasi oleh kekuasaan Sang Maha Besar. Nilai spiritual yang membuat para penempuh rimba dan pendaki gunung sebagai pribadi yang, meski dari luar terlihat angkuh, rendah hati dan senantiasa takut pada kekuatan Sang Pencipta.

Sejak Kapan?

Sungguh gegabah jika menganggap penempuhan rimba dan pendakian gunung merupakan urusan gampang, juga sungguh naïf jika menganggap tidak ada nilai yang bisa pendidikan yang bisa diambil dari sebuah perjalanan. Besarnya potensi nilai yang dapat ditanamkan, serta pentingnya membangun kesadaran dalam beretika dan bersikap tindak di alam bebas menunjukan urgensi atas pendidikan yang mengenalkan siswanya kepada alam bebas sedari dini. Namun demikian, lantaran konsep kurikulum pendidikan di Indonesia terpasung oleh tembok-tembok ruang kelas, keberadaan organisasi perhimpunan penempuh rimba dan pendaki gunung di sekolah-sekolah menjadi suatu hal yang penting untuk dipertahankan.
Sementara mulai banyak sekolah dasar swasta yang mulai memperkenalkan siswanya pada alam bebas sejak kecil, justru keliru jika sikap paranoid dan prasangka buruk terhadap kegiatan para remaja penempuh rimba dan pendaki gunung membuat pengajar di Sekolah Menengah Atas mengekang siswanya dari mengekspresikan kecintaannya atas alam bebas. Alih-alih melindungi, sikap yang demikian malah membentuk karakter remaja yang kehilangan kepercayaan diri dan, bukan tidak mungkin, mengarahkan mereka ke aktivitas yang negatif dan destruktif.
Selayaknya melakukan perjalanan ke puncak mahameru, perjalanan membentuk karakter para remaja penempuh rimba dan pendaki gunung tidaklah singkat maupun mudah. Justru sebaliknya, merupakan perjalanan yang panjang berkilo-kilometer jauhnya. Namun, jika perjalanan berkilo-kilometer itu tidak dimulai semenjak remaja, lalu kapan akan dimulai?

Sikap mendukung dan membangun seharusnya dapat ditunjukkan semua stakeholder yang ada, sebagai upaya memitigasi timbulnya korban lantaran sikap gegabah dalam melakukan perjalanan tanpa melakukan persiapan. Akan sangat berbahaya jika kita membiarkan demam lima sentimeter melanda, tanpa membekali remaja kita dengan kesadaran yang utuh atas suatu perjalanan penempuhan rimba dan pendaki gunung. 



Penulis adalah Zakaria Kartohardjono, Alumni SMA N 1 Bogor angkatan 2000. Anggota PPRPG Satya Soedirman angkatan Titisan Senja. Dengan nama lapangan Boek. Jarak usia yang cukup jauh tak sedikitpun menghilangkan kepedulian beliau terhadap perhimpunan. Itulah ikatan yang kami punya. Sebuah silaturahmi didasari niat tulus dan saling menyayangi layaknya saudara sekandung. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar